Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Erwin Gunawan Hutapea (kiri) dalam acara Taklimat Media di gedung BI, Jakarta, Rabu (7/5/2025). (Foto: Rizka Khaerunnisa)
Bekasi Terkini - Bank Indonesia (BI) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 yang mencapai 4,87 persen secara tahunan masih cukup tinggi dan menarik bagi investor, meskipun berada sedikit di bawah konsensus pasar sebesar 4,92 persen year on year (yoy).
“Tapi 4,87 persen still high enough bagi investor, apalagi nilai tukar kita juga menunjukkan kondisi yang membaik,” ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, dalam Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (7/5/25).
Baca juga : Kemenko Perekonomian dan ExxonMobil Teken Kerja Sama Senilai 10 Miliar Dolar AS
Ia mencatat nilai tukar rupiah terus menunjukkan penguatan dengan bergerak di bawah Rp16.500 per dolar Amerika Serikat (AS), bahkan sempat menyentuh level Rp16.420 per dolar AS. Pada hari yang sama, rupiah tercatat bergerak di kisaran Rp16.500-an per dolar AS.
Erwin menegaskan bahwa BI akan tetap hadir di pasar untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar. Ia juga memastikan ketersediaan likuiditas guna memenuhi kebutuhan investor yang melakukan repatriasi dividen serta korporasi yang membayar utang luar negeri.
Meski mengakui bahwa terjadi aliran modal keluar (outflow) dalam beberapa waktu terakhir, terutama dari pasar saham, Erwin menyatakan tekanan tersebut kini mulai mereda. Ia menyebut arus masuk modal asing, khususnya ke Surat Berharga Negara (SBN), telah menunjukkan perbaikan.
Baca juga : LPDB-KUMKM Luncurkan Aplikasi RDK untuk Tingkatkan Transparansi Dana Bergulir
“Ini tanda-tanda, yang menurut hemat kami, kepercayaan investor sudah mulai kembali. Tinggal kita bagaimana upaya dan langkah yang kita lakukan menjaga agar supply instrumen tetap ada, agar stabilitas dalam konteks nilai tukar dan kecukupan likuiditas rupiah tetap berada di pasar,” tuturnya.
Dari sisi eksternal, Erwin menyoroti masih tingginya ketidakpastian global akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan AS. Selain itu, konflik geopolitik antara India dan Pakistan yang baru-baru ini mencuat juga menjadi faktor yang perlu diantisipasi oleh pelaku pasar.
Rahmadina Sundari
Bagikan